Kamis, 27 September 2012

Cerpen Sahabat :)

Cerpen :

Sahabat

Saat pertama kali aku mengenal Molly, ia langsung menjadi sahabatku. Kami menyukai hal yang sama, tertawa menikmati lelucon yang sama, dan bahkan sama-sama mencintai bunga matahari. Seakan kami saling menemukan pada waktu yang tepat. Sebelumnya kami berdua bergabung dalam dua kelompok main yang berlainan yang tidak rukun atau tidak cocok. Kami sangat bergembira saling berkenalan.
Persahabatan kami tumbuh menjadi sangat erat. Keluarga kami pun menjadi bersahabat, dan semua orang tahu di mana ada Molly, di situ pulalh aku berada, dan sebaliknya. Di kelas lima kami tidak sekelas, tapi pada waktu istirahat, kami duduk bersama di kursi yang sudah ditentukan dan saling mengobrol. Para petugas kantin tidak menyukai ini. Kami selalu menghalangi jalan, bicara terlalu keras dan tidak menyantap makanan siang kami, tapi kami tidak peduli. Para guru tahu kami bersahabat, tapi kami juga menganggu. Mulut kami yang sembarangan bicara sering menyusahkan kami, dan kami diperingatkan tak akan pernah didudukkan sekelas lagi kalau terus seperti ini.
Pada musim panas itu, Molly dan abangnya sering bermain di rumahku. Ibuku mengurus mereka pada waktu ibu mereka bekerja. Kami berenag, bermain di luar dan berlatih bermain suling. Kami membeli liontin persahabatan dan mengenakannya sesering mungkin.
Musim panas berlalu dengan cepat, dan sekolahpun dimulai. Sebagaimana yang telah diperingatkan para guru, kami tidak duduk sekelas. Kami masih suka ngobrol di telepon, saling berkunjung, bernyanyi dalam paduan suara, dan berlatih meniup suling bersama dalam band. Tak ada yang bisa memisahkan persahabatan kami.
Kelas tujuh dimulai, dan lagi-lagi kami tidak sekelas dan tidak bisa duduk berdekatan saat beristirahat makan siang. Seakan kami berdua sedang diuji. Kami sama-sama mempunyai teman baru. Molly mulai sering bermain bersama kelompok bermain yang baru dan ia semakin populer.
Kami jarang melewatkan waktu bersama, dan juga semakin jarang ngobrol di telepon. Di sekolah aku berusaha berbicara dengannya, tapi ia tak acuh. Kalaupun kami punya sedikit waktu untuk bicara, salah seorang temannya yang populer itu akan muncul dan Molly akan bersamanya, meninggalkan aku sendiri, sungguh menyakitkan.
Aku sangat bingung. Aku yakin ia tak menyadari pada waktu itu betapa sakit hatiku, tapi bagaimana bisa aku menceritakan hal itu kepadanya kalau ia tak mau mendengarkan? Aku mulai bermain bersama teman-teman baruku, tapi keadaannya tidak sama. Aku berkenalan dengan Erin, yang juga teman Molly. Ia dan Molly pernah bersahabat, dan kemudian Molly memperlakukannya seperti sekarang ia memperlakukan diriku. Kami memutuskan untuk bicara kepadanya.
Percakapan di telepon itu bukan hal yang mudah. Membicarakan betapa hatiku sakit sangatlah sulit. Aku sangat khwatir menyakiti perasaannya dan membuatnya marah. Tapi sungguh mengherankan - saat kami berdua ngobrol di telepon, kami berteman lagi. Ia kembali menjadi Molly yang sama.
Kujelaskan bagaimana perasaanku, ia juga menjelaskan perasaannya. Baru aku sadarai bahwa aku bukan satu-satunya yang terluka. Ia juga kesepian tanpa kehadiranku sebagai teman ngobrol. Apa yang harus dilakukannya? Jangan mempunyai teman baru? Tak pernah hal itu terpikirkan olehku, tapi ia merasa ditinggalkan olehku dan teman-teman baruku. Ternyata akupun pernah mengabaikannya secara tak sadar. Tampaknya kami ngobrol lama sekali di telepon, karena setelah obrolan kami selesai, aku telah menghabiskan banyak tisu untuk menghapus air mataku. Kami berdua memutuskan tetap bermain bersama teman-teman baru kami masing-masing, tapi kami tak akan pernah melupakan keceriaan dan persahabatan kami.
Aku takkan pernah melupakannya. Molly telah mengajariku sesuatu yang penting. Ia mengajariku bahwa keadaan bisa berubah, orang bisa berubah, tapi itu tidak berarti kita melupakan masa lalu atau berusaha menutup-nutupinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar